Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Daerah » SETARA Institute Kritik Perpres 66/2025: Legitimasi Militerisasi Penegakan Hukum Sipil

SETARA Institute Kritik Perpres 66/2025: Legitimasi Militerisasi Penegakan Hukum Sipil

  • account_circle Akbar
  • calendar_month Senin, 26 Mei 2025

Harianterbit.id Jakarta – SETARA Institute mengkritik keras langkah Presiden Prabowo Subianto yang menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini muncul setelah polemik pengerahan prajurit TNI dari Satuan Tempur dan Bantuan Tempur untuk mengamankan institusi kejaksaan di seluruh wilayah NKRI.

Menurut Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, Presiden seharusnya memerintahkan Panglima TNI untuk menarik pasukan militer tersebut, bukan justru mengesahkannya melalui Perpres. “Langkah ini salah secara materiil dan formil. Perpres 66/2025 tidak memiliki landasan hukum yang sah dan menyimpang dari prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Senin (26/5/2025).

Hendardi menjelaskan bahwa satu-satunya dasar hukum Perpres tersebut adalah Pasal 4 UUD 1945, tanpa merujuk pada Undang-Undang TNI maupun Undang-Undang Kejaksaan. Padahal, substansi peraturan ini menyangkut pengerahan militer dalam fungsi sipil. “Ini merupakan bentuk legalisme otokratis, yakni penggunaan hukum untuk mendukung kekuasaan, bukan kepentingan hukum dan publik,” tegasnya.

Dari sisi prosedural, Perpres dinilai bermasalah karena tidak melalui mekanisme program penyusunan (Progsun) maupun prosedur darurat yang dibolehkan dalam kondisi luar biasa. SETARA Institute menduga bahwa pembentukan Perpres dilakukan secara instan untuk melegitimasi kerja sama antara Kejaksaan dan TNI yang didasarkan pada MoU yang juga dipertanyakan dasar hukumnya.

Lebih lanjut, Hendardi menyoroti dua dampak serius dari kebijakan ini. Pertama, pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan bisa membuka jalan bagi militerisasi penegakan hukum sipil. Kedua, kebijakan ini berpotensi menimbulkan gesekan dan tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan, Polri, dan TNI.

“Presiden seharusnya fokus memperkuat integritas dan profesionalitas lembaga penegak hukum, bukan justru menarik militer masuk ke ranah sipil. Ini bisa mendistraksi fungsi utama TNI dalam pertahanan negara,” tambah Hendardi.

Ia juga mengingatkan bahwa akar permasalahan penegakan hukum di Indonesia bukan terletak pada lemahnya perlindungan fisik terhadap jaksa, melainkan rendahnya integritas aparat penegak hukum yang kerap terlibat dalam korupsi dan pungli.

“Penegakan hukum akan kuat jika dilakukan oleh institusi sipil yang profesional, bukan dengan menghadirkan militer ke dalam wilayah yang bukan tugasnya,” pungkasnya

  • Penulis: Akbar
expand_less