Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Opini » Tantangan Ekonomi Nasional dan Jalan Panjang Menuju Pemulihan

Tantangan Ekonomi Nasional dan Jalan Panjang Menuju Pemulihan

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Rabu, 9 Apr 2025

Harianterbit.id Jakarta – Indonesia tengah menghadapi tekanan ekonomi bertubi-tubi yang menuntut kewaspadaan semua pemangku kepentingan. Melemahnya rupiah terhadap dolar AS, anjloknya IHSG, dan kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menjadi kombinasi tekanan eksternal yang harus segera direspons oleh pemerintah.

Per akhir Maret 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh angka Rp17.000, level terendah dalam lebih dari setahun terakhir. Tekanan ini diperparah oleh ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari perkiraan. Sementara itu, ketegangan geopolitik serta perlambatan perdagangan global menambah beban pada arus masuk modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tidak hanya kurs rupiah, pasar saham juga terseret. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi hampir 10% sejak awal tahun. Investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang dan mengalihkannya ke aset-aset aman seperti obligasi pemerintah AS.

Penurunan IHSG ini mencerminkan melemahnya optimisme terhadap prospek jangka pendek ekonomi domestik.Kondisi tersebut diperumit dengan kebijakan proteksionis Amerika Serikat. Pemerintahan Trump kembali memberlakukan tarif impor baru hingga 32% terhadap sejumlah produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Produk tekstil, hasil pertanian, dan alas kaki menjadi sektor yang paling terdampak. Pelaku ekspor nasional pun harus mencari celah baru di tengah menyempitnya akses pasar global.

Tekanan ekonomi ini menjadi ujian awal bagi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang akan memulai masa jabatan mereka dalam waktu dekat. Mereka membawa visi pembangunan yang berfokus pada hilirisasi industri, ketahanan pangan, serta program makan siang gratis yang ambisius. Target pertumbuhan ekonomi 5,5% dan penurunan angka kemiskinan di bawah 7% pada tahun 2029 menjadi bagian dari sasaran utama.

Namun, jalan menuju pencapaian target itu tidak akan mudah. Melemahnya rupiah secara langsung berdampak pada biaya logistik dan impor bahan baku. Ini berpotensi menghambat implementasi program makan siang gratis dan mendorong inflasi makanan. Sementara itu, ketidakpastian pasar saham dapat membuat investor ragu untuk masuk ke sektor-sektor strategis seperti energi, teknologi, dan manufaktur.

Di sisi fiskal, tekanan akan semakin nyata. Belanja negara berisiko membengkak seiring kebutuhan pembiayaan proyek sosial dan infrastruktur yang ambisius. Tanpa reformasi struktural yang mendalam dan penguatan sektor pajak, defisit anggaran bisa meluas dan menekan kredibilitas fiskal Indonesia di mata investor global.

Namun demikian, peluang tetap terbuka. Pemerintah dapat memperluas kerja sama dagang dengan mitra nontradisional seperti India, Timur Tengah, dan Afrika. Di sisi domestik, penguatan produksi dalam negeri serta digitalisasi sektor usaha mikro dan kecil (UMKM) dapat menjadi kunci untuk menjaga daya beli dan ketahanan ekonomi masyarakat.

Yang dibutuhkan saat ini adalah sinergi antar lembaga, konsistensi arah kebijakan, dan komunikasi yang transparan kepada publik. Rakyat butuh diyakinkan bahwa pemerintah hadir dan siap menangani tantangan yang ada dengan strategi yang konkret dan terukur.

“Kita meyakini bahwa di tengah tekanan global ini, Indonesia masih memiliki modal dasar yang kuat: bonus demografi, pasar domestik yang besar, dan semangat reformasi. Yang diperlukan hanyalah komitmen nyata untuk menjaga stabilitas, memperkuat fondasi ekonomi, dan menjadikan tekanan ini sebagai katalis bagi pembenahan struktural yang telah lama ditunggu,” tutup Muhibbullah Azfa Manik.

Penulis : Muhibbullah Azfa Manik adalah dosen di Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta

  • Penulis: Redaksi
expand_less