Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Daerah » Reformasi: Janji yang Masih Tertunda

Reformasi: Janji yang Masih Tertunda

  • account_circle Muhibbullah Azfa Manik Dosen Universitas Bung Hatta
  • calendar_month Selasa, 20 Mei 2025

Harianterbit.id Jakarta – Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan simbol dari perjuangan panjang rakyat Indonesia untuk meraih demokrasi, keadilan, dan kebebasan yang selama puluhan tahun terkungkung dalam rezim otoriter.

Reformasi lahir dari rahim krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an. Krisis ekonomi Asia yang dimulai pada 1997 menghantam keras perekonomian Indonesia, menyebabkan inflasi tinggi, pengangguran massal, dan kemiskinan yang meningkat. Ketidakpuasan masyarakat terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela di bawah pemerintahan Orde Baru memicu gelombang protes besar-besaran. Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat umum mengguncang Jakarta dan kota-kota besar lainnya, menuntut reformasi total dalam sistem pemerintahan.

Puncak dari gerakan reformasi terjadi pada Mei 1998, ketika demonstrasi besar-besaran berlangsung di Jakarta. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak saat berdemo, memicu kemarahan publik yang lebih luas. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di berbagai daerah, menambah tekanan pada pemerintahan Soeharto. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, dan Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia.

Sejak saat itu, Indonesia memasuki era Reformasi, yang ditandai dengan berbagai perubahan penting, termasuk amandemen UUD 1945, desentralisasi kekuasaan, kebebasan pers, dan pemilihan umum yang lebih demokratis. Hari Reformasi Nasional menjadi pengingat akan pentingnya menjaga semangat demokrasi, transparansi, dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, setelah lebih dari dua dekade, pertanyaan besar muncul: sejauh mana janji-janji Reformasi telah terpenuhi? Kebebasan berpendapat memang lebih terbuka, namun polarisasi politik dan penyebaran disinformasi di media sosial menjadi tantangan baru. Desentralisasi membawa otonomi daerah, tetapi juga membuka celah bagi korupsi di tingkat lokal. Pemilihan umum berlangsung secara reguler, namun praktik politik uang dan dinasti politik masih mengakar kuat.

Korupsi, yang menjadi salah satu alasan utama gerakan Reformasi, tetap menjadi masalah kronis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, belakangan justru mengalami pelemahan melalui revisi undang-undang yang kontroversial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa semangat Reformasi mulai memudar di tengah kepentingan politik jangka pendek.

Dalam konteks sosial, ketimpangan ekonomi masih menjadi persoalan serius. Kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok masyarakat, mencerminkan perlunya kebijakan yang lebih inklusif. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang merata menjadi kunci dalam mengatasi kesenjangan ini.

Hari Reformasi Nasional seharusnya tidak hanya menjadi peringatan seremonial, tetapi momentum refleksi dan evaluasi terhadap perjalanan demokrasi Indonesia. Semangat Reformasi harus terus dijaga dan diperkuat, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh seluruh elemen masyarakat. Partisipasi aktif warga negara dalam proses politik, pengawasan terhadap kebijakan publik, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran adalah kunci untuk memastikan bahwa cita-cita Reformasi tidak menjadi sekadar kenangan sejarah.

Kini, saat Indonesia menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan dinamika geopolitik, semangat Reformasi perlu diaktualisasikan dalam bentuk kebijakan yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Reformasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan demokratis.

Dua puluh enam tahun setelah lengsernya Soeharto, Reformasi tetap relevan sebagai pengingat bahwa demokrasi tidak datang dengan mudah, dan mempertahankannya memerlukan komitmen, keberanian, dan kerja keras dari seluruh rakyat Indonesia.

  • Penulis: Muhibbullah Azfa Manik Dosen Universitas Bung Hatta
expand_less