Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Hukum » Wasekjen Demokrat Minta MA Kebalikan Kepercayaan Publik Terkait Penegakan Hukum

Wasekjen Demokrat Minta MA Kebalikan Kepercayaan Publik Terkait Penegakan Hukum

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Senin, 14 Apr 2025

Harianterbit.id Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta dalam kasus putusan lepas korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Hal tersebut mendapat sorotan dan perhatian serius dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Didik Mukrianto, Selasa (15/4/2025)

Menurut Didik, Penangkapan Ketua PN Jaksel adalah langkah penting dalam pemberantasan korupsi. Kata Didik, kejadian ini sebagai peringatan keras ke sekian kalinya terhadap sistem peradilan di Indonesia khususnya terkait dengan isu korupsi yang sistemik.

“Pengawasan yang masih lemah, dan reformasi peradilan yang bisa dikatakan tidak efektif. Kasus ini bisa dianggap menunjukkan kegagalan sistem mencegah pelanggaran dan penyimpangan sejak dini,” kata Wakil Sekjen Partai Demokrat Didik Mukrianto lewat pernyataanya, Selasa (15/4/2025)

Selanjutnya, mantan anggota komisi III DPR RI dari partai berlambang beringin tersebut juga memberikan beberapa catatan tentang kasus penangkapan PN Jaksel.

Pertama

Integritas Peradilan dan Kepercayaan Publik terhadap Penangkapan seorang ketua pengadilan negeri menunjukkan kerentanan sistem peradilan kita terhadap korupsi, terutama di posisi elit/kepemimpinan. Kejadian ini kata Didik bisa memperkuat persepsi bahwa keadilan bisa “dibeli” o/ pihak berduit.

“Pertanyaan kritisnya, mengapa pengawasan internal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial gagal mendeteksi potensi pelanggaran sejak dini, terutama u/ pejabat tinggi spt ketua PN? Apakah ada kelemahan struktural dlm mekanisme pengawasan,” ucap Didik.

Kedua

Mentalitas Korup yang Sistematik, kata Didik, jika tidak dilakukan perbaikan dan perubahan atau tidak dilakukan reformasi yang sistemik di lembaga dan lingkungan peradilan di Indonesia. Maka kata Didik, potensi lahirnya mentalitas korup di peradilan bukan lagi laten, melainkan terang-terangan dan meluas.

“Dalamm konteks perbaikan, penangkapan individu spt Muhammad Arif Nuryanta harus diikuti dengan upaya pemberantasan korupsi yang terintegrasi dan berkesinambungan. Sistem promosi jabatan, pengawasan, dan insentif dalam peradilan tampaknya belum mampu membendung praktik suap dan gratifikasi,” tutur Didik.

“Pertanyaan Kritisnya, apakah reformasi yang diusulkan, seperti Sistem Manajemen Anti Penyuapan untuk MA, benar-benar diimplementasikan dengan serius, atau hanya formalitas,” tambah Didik.

Selanjutnya yang ketiga

Dampak pada Reformasi Peradilan. Kasus ini menunjukkan bahwa reformasi peradilan yang telah digaungkan selama bertahun-tahun, termasuk melalui digitalisasi (e-Court) dan penguatan KY belum memberikan hasil signifikan dalam mencegah korupsi di level elit. Kata Didik, tanpa perubahan mendasar, seperti penguatan KY atau sanksi yang lebih berat bagi hakim pelaku korupsi, kasus serupa akan terus berulang.

“Jangan sampai ada anggapan bahwa aparat hukum yang rusak parah mencerminkan krisis legitimasi sistem peradilan kita. Pertanyaan Kritisnya, langkah konkret apa yg akan diambil MA dan KY pasca kasus ini u/ memastikan hakim lain tidak mengulangi pelanggaran serupa? Apakah ada rencana u/ audit menyeluruh thd hakim di pengadilan lain?,” sebut Didik.

Kemudian, kata Didik, saatnya melakukan reformasi peradilan secara menyeluruh kembali diperkuat. Hal tersebut dilakukan karena Korupsi yang Sistematik, seperti yang melibatkan elit-elit di lembaga peradilan bisa akan terus menggerogoti integritas dan perwujudan keadilan di lingkungan lembaga peradilan di Indonesia. Kata Didik, semakin jauh dalam mewujudkan supremasi hukum.

Keterlibatan hakim, panitera, dan pengacara dalam skema suap menunjukkan budaya korupsi yang mengakar. Tanpa perubahan sistemik, penegakan hukum hanya akan menangkap pelaku individu tanpa membongkar jaringan korupsinya. Dan hal ini tidak akan bisa membuat efek jera, sehingga korupsi akan terus terjadi,” jelas politisi asal jawa timur tersebut.

Kemudian kata Didik, Krisis Kepercayaan Publik, Peradilan sebagai pilar penegak keadilan kehilangan legitimasi ketika pejabat tinggi seperti ketua PN terlibat suap. Munculnya berbagai anggapan yang menyebut sistem hukum “rusak parah,” mencerminkan ketidakpercayaan yang bisa melemahkan supremasi hukum.

“Reformasi menyeluruh dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan bahwa keadilan bukan komoditas,” beber Didik.

Didik menyebut, terdapat kelemahan Struktural pada Pengawasan internal Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) yang terbukti tidak efektif mencegah pelanggaran sejak dini. Kata Didik, KY hanya punya wewenang rekomendasi, sementara Bawas MA sering dianggap kurang independen.

“Struktur ini harus dirombak untuk memastikan akuntabilitas tanpa campur tangan,” tegas Didik.

Menurut Didik, Tekanan Eksternal dan Global, Korupsi di peradilan seperti dalam kasus ekspor CPO, juga merugikan iklim investasi dan reputasi Indonesia di mata dunia. Kata Didik, reformasi menyeluruh sejalan dengan komitmen global, seperti Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), untuk memperkuat independensi dan integritas peradilan.

Reformasi Menyeluruh terkait Independensi Lembaga Pengawas. KY harus diperluat dengan kewenangan eksekutorial, bukan hanya rekomendasi, untuk menyelidiki dan menjatuhkan sanksi pada hakim pelaku pelanggaran.

“Badan Pengawasan MA harus dipisahkan dari struktur MA untuk hindari konflik kepentingan,” ucap Didik.

Kemudian, melakukan Seleksi dan Evaluasi Hakim. Proses seleksi hakim kata Didik harus transparan, melibatkan publik, dan menggunakan panel independen (KY, akademisi, masyarakat sipil).

“Tes integritas, seperti simulasi tekanan korupsi, harus jadi standar. Evaluasi berkala wajib mencakup audit putusan dan laporan harta kekayaan (LHKPN) yang diverifikasi silang dengan KPK,” saran Didik.

Selanjutnya, Transparansi dan Digitalisasi dengan cara Perluas sistem e-Court untuk mencatat semua tahap peradilan secara digital. Kata Didik ini bisa mengurangi ruang suap melalui kontak langsung.

“Publikasi putusan di Direktori Putusan MA harus jadi norma untuk pengawasan publik. Sistem pelaporan anonim (whistleblowing) spt SIWAS MA hrs diintegrasikan dengan teknologi AI untuk deteksi dini pola pelanggaran,” papar Didik.

Sanksi Tegas dan Efek Jera, Hakim pelaku korupsi harus dihadapkan pada hukuman pidana berat, penyitaan aset, dan pencopotan permanen. Kasus PN Jakarta Selatan harus jadi presiden bahwa tidak ada yang kebal hukum. Revisi UU Peradilan untuk memperberat sanksi etik dan pidana bagi pelaku suap di peradilan.

Pendidikan Etika dan Budaya Anti Korupsi, Pelatihan wajib rutin melalui Badan Litbang Diklat MA, fokus pada etika, independensi, dan ketahanan terhadap tekanan eksternal. Kolaborasi dengan lembaga seperti KPK atau Transparency International bisa perkuat kurikulum.

“Insentif untuk hakim berintegritas, seperti promosi berbasis merit, harus diutamakan ketimbang senioritas atau koneksi,” ujar Didik.

Perlu kita catat juga, biasanya reformasi menyeluruh berpotensi terhambat resistensi internal, kepentingan politik, dan anggaran terbatas. Menurut Didik, ini bentuk action will dan dukungan nyata.

“Ingat! Tanpa “tekanan” masyarakat sipil dan media, reformasi cenderung mandek. Kasus PN Jakarta Selatan mudah-mudahan menjadi triger perubahan,” tegas Didik.

“Reformasi peradilan secara menyeluruh bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan untuk mengatasi korupsi sistemik, mengembalikan kepercayaan publik, dan menegakkan supremasi hukum. Prioritas awal bisa dimulai dari independensi pengawasan dan transparansi proses, tapi semua elemen seleksi, sanksi, digitalisasi, dan budaya etik harus berjalan simultan,” tutup Didik.

  • Penulis: Redaksi
expand_less