Pandangan Kuasa Hukum Warga Cikupa Soal Pengosongan Lahan
Ilustrasi Sertifikat, Selasa (29/3)
HARIANTERBIT.ID – Komisi HAM PBB melalui Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 1993/77 dan 2004/28 mengategorikan penggusuran paksa sebagai “gross violation of human rights” (red. pelanggaran HAM berat) karena perampasan hak atas perumahan yang layak dapat berujung pada pelanggaran terhadap serangkaian hak dasar lainnya, yaitu hak atas rasa aman, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran paksa.
Setiap warga negara juga dilindungi dari penggusuran paksa berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (“Kovenan EKOSOB”) sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Komentar Umum CESCR Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa.
“Dan dalam Pasal 28D UUD RI 1945 disebutkan “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”kata Tim Kuasa Hukum Warga RT 01 RW 01 Septian Prasetyo kepada awak media, Selasa (29/3).
Menurut Septian, berdasarkan ketentuan HAM dan UUD 1945 tersebut, penggusuran harus dijadikan pilihan terakhir oleh pemerintah setelah menempuh proses partisipasi dan musyawarah yang seimbang dengan warga terdampak. Pemerintah juga wajib untuk memberikan perlindungan prosedural bagi warga terdampak, yaitu dengan merelokasi warga terdampak terlebih dahulu ke lokasi baru yang layak sebelum penggusuran dilaksanakan, atau memberikan ganti untung terhadap lahan warga yang terkena dampak.
“Jadi tidak menggunakan pendekatan intimidasi dan kekerasan, tidak menggunakan kekuatan aparat secara berlebihan, dan menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh warga terdampak.”beber Septian.
Tentang Alas Hak
Warga di lokasi penggusuran telah menduduki lahan mereka selama puluhan tahun lamanya dari sejak tahun 50an, yang mendiami sekarang sudah anak cucu nya, Sebagian dari mereka bahkan tanda bukti pembayaran pajak SPPT tahun 90an. Serta ada yang mempunyai Letter C Tahun 1989.
“Meski demikian, pemerintah tidak kunjung menerbitkan sertifikat yang dimohonkan. Padahal Pasal 1963 jo. 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjamin hak warga untuk memperoleh sertifikat setelah menduduki suatu lahan dengan itikad baik selama lebih dari 20 tahun.”ujar Septian.
Baca juga : Mukhtarudin Dukung Menperin Agus Yang Ingin Pabrikan Otomotif Terus Berinvestasi di Tanah Air
Lebih lanjut, terkait sengketa kepemilikan lahan, pemerintah dalam hal ini pihak desa cikupa, juga berkewajiban untuk menunjukkan bukti kepemilikannya berupa sertifikat berdasarkan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun, diakui sendiri oleh phak desa cikupa bahwa mereka tidak memiliki sertifikat, padahal tindakan penelantaran tanah termasuk ke dalam tindak pidana berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
“Ketika pihak desa cikupa tidak dapat membuktikan kepemilikan lahannya maka proses pengambil-alihan lahan pun menjadi ilegal, dengan mengerahkan aparat yang juga ilegal, yaitu aparat TNI dan POLRI yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan penggusuran paksa.”jelas Septian.
Tentang MOU Desa Cikupa PT Langkah Terus Jaya
Bahwa perjanjian antara Mantan Kepala Desa Cikupa dengan PT. Langkah Terus Jaya diduga telah menyalahi prosedur karena tidak sesuai dengan Pasal 5 ayat 3 Permendagri no 96 Tahun 2017 tentang pengelolaan aset desa, yang berbunyi
“pelaksanaan kerjasama desa dengan pihak ketiga diatur dengan perjanjian bersama melalui kesepakatan musyawarah desa.”tutur Septian
“Bahwa Pemerintah Desa setempat tidak pernah membicarakan hal tersebut kepada warga dan hanya memanggil warga ketika telah terjadi perjanjian antara Pemerintah Desa Cikupa dengan PT. Langkah Terus Jaya (Perjnjian Bangun Guna Serah) serta hanya menyampaikan warga akan diberi uang kerohiman sebagai ganti bangunan sebesar Rp. 400.000,-(empat ratus ribu rupiah) per luas bangunan.”tambah Septian.
Baca juga : Komisi VI DPR Dukung Kebijakan Menko Airlangga Terkait Subsidi Minyak Goreng Curah Rp.14000 Liter
Dijelaskan Septian, berdasarkan Peraturan Bupati Tangerang Nomor 77 tahun 2021 pasal 38 menyebutkan “Pemanfaatan melalui KSP, BGS atau BSG dilaksakanan setelah mendapat IZIN TERTULIS DARI BUPATI” jadi selama belum mendapatkan izin tertulis dari Bupati Kabupaten Tangerang, maka dilarang melakukan kegiatan apapun dilokasi rencana pembangunan.
Tindakan penggusuran lahan oleh PT Langkah Terus Jaya dan Pihak Pemerintah Desa Cikupa yang di back up aparat serta ormas, terhadap warga RT 01/01 Desa cikupa, adalah tindakan sewenang-wenang, ilegal dan melawan hukum.
“Kami akan terus melawan, memperjuangkan hak-hak warga, dengan melaporkan peristiwa ini ke pihak Gubernur Banten, Polda Banten, Kejati Banten, Ombudsman, Komnas HAM, Satgas Mafia Tanah, Satgas Saber Pungli, Kemendes PDTT, Kemendagri dan Komisi III DPR RI.”terang Septian Prasetyo. (Red)