IPC: DPR Minim Oposisi, Partisipasi Publik Dikebiri Dua Kali

Avatar of Redaksi
IPC: DPR Minim Oposisi, Partisipasi Publik Dikebiri Dua Kali I Harian Terbit

Harianterbit.id – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2019-2024 telah menyelesaikan masa baktinya dengan berbagai capaian dan tantangan. Dalam pidatonya saat Rapat Paripurna DPR, Ketua DPR RI Puan Maharani memaparkan capaian DPR dalam menjalankan fungsi legislasi.

“Dengan demikian, selama periode 2019-2024, DPR RI telah menyelesaikan 225 Rancangan Undang-Undang (RUU),” kata Puan dalam pidatonya, Senin (30/9/2024).

Dari jumlah tersebut, 48 RUU berasal dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024, 177 RUU kumulatif terbuka, dan 5 RUU yang diputuskan tidak dilanjutkan pembahasannya. Jumlah RUU dalam daftar Prolegnas mencapai 263 RUU.

Puan Maharani menyatakan, bahwa pencapaian ini merupakan hasil dari komitmen bersama antara DPR dan pemerintah dalam menyelesaikan agenda legislasi nasional.

Namun, di balik capaian tersebut, kinerja legislasi DPR periode 2019-2024 mendapat sejumlah catatan kritis dari masyarakat sipil. Indonesian Parliamentary Center (IPC) dalam laporannya menyebutkan bahwa DPR selama periode ini tidak membuat gebrakan berarti.

Legislasi minim penolakan fraksi-fraksi. Sementara pelaksanaan anggaran tak terlihat kemajuan negosiasi DPR terhadap APBN untuk peningkatan porsi anggaran pelayanan publik. Sementara itu, Mahkamah Kehormatan Dewan yang diharapkan dapat mengontrol para Anggota DPR dalam bekerja, tidak cukup kuat memberi sanksi etik.

 

Pengawasan Lemah dan Rekomendasi tak Ditindaklanjuti

Peneliti IPC, Arif Adi Putro, menyatakan bahwa kinerja legislasi DPR periode ini dicirikan oleh pembahasan yang cepat, cenderung tertutup, dan segera disahkan. Contoh dari pola ini adalah undang-undang pertambangan mineral dan batubara serta undang-undang cipta kerja yang disahkan pada 2020.

“Undang-undang lain yang memiliki pola yang sama adalah UU Ibu Kota Negara, UU Kementerian Negara, dan UU Dewan Pertimbangan Presiden. Kalaupun ada upaya meminta masukan publik melalui rapat dengar pendapat, tampak hanya formalitas belaka,” ujar Arif dalam Evaluasi Kinerja DPR 2019-2024 di Jakarta, Senin (30/9/2024).

Terkait pengawasan, DPR telah melaksanakan 3.824 rapat pengawasan, dengan 31 persen di antaranya dilaksanakan tertutup. Komisi I dan Komisi VI tercatat paling banyak melakukan rapat tertutup, masing-masing dengan 250 dan 200 rapat tertutup. DPR juga membentuk 50 panitia kerja pengawasan, namun 29 di antaranya belum menyelesaikan pengawasannya.

Dari 21 panja yang telah menyelesaikan pengawasannya, hampir semua rekomendasi tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Prosentase rekomendasi DPR yang ditindaklanjuti oleh pemerintah hanya 37 persen, sementara 63 persen tidak dilanjutkan.

Meski rapat-rapat pengawasan diadakan, sering kali pembahasannya tidak mendalam dan bersifat normatif tanpa ada evaluasi yang substansial. Sejauh ini baru satu pansus, yakni Pansus Angket Haji, yang terbentuk di akhir periode.

“Banyak isu publik yang tidak ditindaklanjuti dengan menggunakan hak angket dan hak interpelasi oleh DPR 2019-2024, seperti Tragedi Kanjuruhan, kelangkaan minyak goreng, dan kecurangan pemilu,” ujar Arif.

Terkait anggaran, fungsi APBN sebagai alat distribusi kesejahteraan kurang mendapatkan perhatian DPR. Tingkat pengangguran masih tinggi, namun DPR kurang serius membahas RAPBN yang mengalokasikan anggaran terbesar kepada K/L yang tidak berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi.

Dampak perubahan iklim juga belum mendapat porsi cukup dalam pengawasan anggaran DPR. DPR justru menaikkan pos PNBP SDA dari batubara, gas, dan minyak bumi serta menaikkan subsidi BBM, sementara subsidi untuk energi terbarukan baru dibahas pada pertengahan 2023.

 

Minimnya Opoisi, Partisipasi Publik Terabaikan

Buruknya kinerja DPR ini dinilai karena dipengaruhi minimnya oposisi di parlemen. IPC mencatat bahwa dinamika koalisi-oposisi di parlemen sepanjang periode ini menunjukkan melemahnya oposisi.

Pada tahun 2019, koalisi pemerintahan terdiri dari PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, dan Hanura dengan 60,3 persen kursi di parlemen, sementara oposisi terdiri dari Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS dengan 39,7 persen kursi.

Namun, pada tahun 2020, Gerindra bergabung dengan koalisi, meningkatkan kekuatan koalisi menjadi 74 persen dan meninggalkan Demokrat, PAN, dan PKS sebagai oposisi dengan 26 persen kursi.

Pada periode 2021-2022, koalisi semakin kuat dengan masuknya PAN, sehingga menguasai 82 persen kursi di parlemen, sementara oposisi hanya terdiri dari PKS dan Demokrat dengan 18 persen kursi.

Memasuki tahun 2023 hingga Pilpres 2024, terjadi pergeseran besar dengan koalisi terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN dengan 45 persen kursi, sementara PDIP dan PPP menjadi oposisi dengan 26 persen kursi. Partai-partai seperti PKB, Nasdem, dan PKS memilih untuk tidak bersikap, menguasai 29 persen kursi.

Pada Pilpres 2024, oposisi terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, dan Nasdem dengan 56 persen kursi, sementara koalisi hanya terdiri dari PDIP dengan 22 persen kursi. PPP, PKS, dan PKB memilih untuk tidak bersikap, menguasai 22 persen kursi.

“Partai-partai lebih cenderung memposisikan diri berdasarkan di mana kekuasaan eksekutif berada, bukan berdasarkan visi-misi dan komitmen untuk memperkuat demokrasi,” ujar Arif Adiputro.

Minimnya oposisi berdampak pada partisipasi publik yang tidak menjadi perhatian serius oleh DPR. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap uji formil “omnibus law” UU Cipta Kerja telah memberi penekanan terhadap DPR pentingnya partisipasi publik yang bermakna. Namun, banyak uji formil di MK ditolak karena pembuktian partisipasi bermakna ada di tangan DPR.

“Partisipasi publik dibunuh dua kali: pertama oleh DPR yang tidak mengedepankan partisipasi bermakna, dan kedua oleh MK yang menolak uji formil karena kurangnya bukti partisipasi tersebut,” terang Arif.

banner 325x300
Ikuti kami di Google News